PendahuluanTulisan ini merupakan pengantar
singkat untuk melukiskan profil, gambaran dan permasalahan
kecendekiawanan yang dihadapi insan pers "Indonesia" (baca: pribumi),
terutama pada periode 1900-an. Yang dimaksud dengan insan pers di sini
adalah mereka yang paling terlibat dalam kegiatan intelektual: para
jurnalis atau wartawan. Pers sebenarnya identik dengan media massa, yang
punya arti lebih luas. Seperti: mencakup radio, terlevisi, bahkan kaset
video, selebaran dan pamflet. Namun pers biasanya lebih diasosiasikan
dengan media cetak.
Mengapa bidang pers yang dipilih, ada
beberapa alasan. Pertama, secara historis, pers mempunyai peran penting
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan sayangnya peran ini sangat
jarang dibahas. Apalagi untuk pers periode tahun 1900-an. Hasrat rakyat
bagi kemerdekaan dan perjuangan yang sadar dari kepemimpinan
revolusioner memerlukan koordinasi, jika tujuan bersama untuk
kemerdekaan hendak dicapai. Pers berperan dalam memberikan koordinasi
ini (Kratz: 1986).
Tokoh-tokoh pejuang seperti Haji Agus Salim,
Sam Ratulangi, Danudirdja Setyabuddhi (Douwes Dekker), Ki Hajar
Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo, adalah tokoh-tokoh garis depan dalam
pengembangan pers nasional, yakni pers yang akan berperan penting dalam
perjuangan fisik di tahun 1940-an. Bahkan Bung Karno pernah memimpin
Fikiran Rakjat di Bandung, Bung Hatta bersama Sutan Sjahrir memimpin
Daulat Rakjat, Haji Oemar Said Tjokroaminoto memimpin Oetoesan Hindia,
dan Dokter Soetomo mengusahakan Soeara Oemoem, yang dipimpin Tjindarbumi
dibantu Sudarjo Tjokrosisworo.
Kedua, para tokoh pers pada waktu
itu mungkin bisa mewakili pengertian kita tentang "cendekiawan Dunia
Ketiga" yang diproyeksikan dari model cendekiawan bebas (Mannheim).
Mereka adalah kelompok terpelajar, sering berpendidikan tinggi,
mengemban tanggung jawab kemasyarakatan, serta bisa bersikap radikal dan
bebas dalam memandang kondisi masyarakat dan negara tempat mereka
hidup, yang terlihat jelas dalam perjuangan mereka menentang penguasa
kolonial.
Jadi mereka memenuhi kriteria inteligensia (yang secara
sederhana diterjemahkan sebagai golongan terpelajar), sekaligus
intelektual (karena keterlibatan dan keprihatinannya dalam pemecahan
masalah kemasyarakatan. Dalam kasus mereka, sebenarnya tidaklah relevan
lagi jika kita membuat jarak antara kaum inteligensia dan intelektual.
Ketiga,
pers -- dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun sulitnya -- tetap
hadir, dan tampaknya akan terus hadir serta berperanan (meski mungkin
dalam bentuk-bentuk peran yang berbeda) dalam periode sejarah Indonesia
mendatang. Meski dengan proses jatuh bangun, terbukti pers ini terus
hidup melalui zaman Hindia Belanda, pendudukan Jepang, era Orde Lama dan
Orde Baru. Pertumbuhan pers Indonesia saat ini -- baik dari segi
penyebaran sirkulasi, jumlah suratkabar/majalah, serta kualitas isinya
-- sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi negeri ini,
menggarisbawahi perlunya pembahasan profil dan masalah kecendekiawanan
para insan pers Indonesia.
Kasus "Medan Prijaji"Pers
Indonesia saat ini merupakan salah satu domain kehidupan masyarakat
yang terlingkup dalam pertautan antara sisi modernitas, tradisi
(keindonesiaan) dan agama. Untuk praktisnya dan agar kita tidak
berpanjang-panjang bicara soal definisi, penulis menggunakan definisi
yang digunakan panitia simposium. Yakni, yang dimaksud dengan tradisi di
sini adalah segala macam praktek, pemikiran dan kelembagaan yang
dipahami secara kolektif dan diwariskan dari masa lalu, serta dianggap
minimal sudah menjadi bagian penting dari sejarah dan kebudayaan
Indonesia atau bersifat indigenous. Agama dirumuskan sebagai nilai-nilai
universal yang bersifat trans-rasial, trans-strata, dan trans-historis;
berorientasi perenial; serta mengilhami setiap gagasan dan pemikiran
etis dan ideologis. Sedangkan modernitas mencakup nilai-nilai budaya
modern dengan kerangka epistemologis kebudayaan "Barat."
Pers
yang pertama kali diterbitkan oleh seorang pribumi di era Hindia Belanda
adalah Medan Prijaji, yang sebelum menjadi harian telah terbit sebagai
mingguan selama tiga tahun, sejak 1907. Penerbitnya adalah Raden Mas
Tirtohadisoerjo, bekas murid Stovia yang bisa disebut sebagai "pelopor
wartawan Indonesia." Sebelum menerbitkan Medan Prijaji, ia telah
berpengalaman sebagai wartawan suratkabar harian Bintang Betawi, yang
dipimpin J. Kieffer dari Firma Van Dorp & Co. Tirtohadisoerjo adalah
seorang priyayi dan saudara Bupati Purwodadi, sedangkan orangtuanya
sendiri adalah seorang kolektur (juru pengumpul uang pada zaman Belanda
atau Manteri Pajak) di Ponorogo. Ayah Tirtohadisoerjo bernama Raden Mas
Tumenggung Tirtonoto.
Walau suratkabar yang diasuh
Tirtohadisoerjo itu bernama Medan Prijaji, suratkabar yang terbit di
Bandung itu tidak dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Moto majalah ini
semula berbunyi: Swara bagi sekalijan Radja2, Bangsawan Asali dan
fikiran saudagar-saudagar Anaknegeri, lid-lid Gemeente dan Gewestelijke
Raden dan saudagar bangsa yang terprentah lainnya. Sesudah makin maju,
majalah ini menjadi harian, dan motonya semakin tegas dan jelas, yakni:
Orgaan boeat bangsa jang terprentah di H.O. Tempat akan memboeka
swaranja Anak-Hindia. (H.O. adalah singkatan dari Hindia Olanda). Pada
saat itu, moto ini sudah dianggap sangat radikal. Bandingkanlah dengan
moto Sinar Soematra di Padang, yang berbunyi: Kekallah kerajaan Wolanda,
sampai mati setia kepada kerajaan Wollanda (!). Kalimat semacam ini
juga bisa dilihat pada Warta Hindia di Padang, yang baru dihapuskan
setelah pergerakan rakyat sejak tahun 1921 di Padang.
Yang juga
menarik adalah, menurut buku Sejarah Pers Sebangsa, disebut nama-nama
para pengelola Medan Prijaji. Sebagai pemimpin redaksi (hoofdredacteur)
adalah Tirtohadisoerjo sendiri, dengan redaktur A.W. Madhie, Raden
Tjokromidjojo, Raden Soebroto (ketiganya dari Bandung), R.M.
Prodjodisoerjo dan R. Kartadjoemena di Bogor, dan P.t (Paduka tuan) J.J.
Meyer, pensiunan Asisten Residen di 's Gravenhage, sebagai redaktur di
Nederland. Juga disebut adanya beberapa journalist bangsa Tiong Hoa dan
Anak negerie jang pandai2 jang sudah kita pilih mentjoekoepi pada
kewadjibannja, a.m (antara mana) Begelener, Hadji Moekti dan lain-lain.
Di
sini terlihat, Tirtohadisoerjo melibatkan dalam susunan redaksinya
berbagai unsur masyarakat yang ada waktu itu: Belanda, Cina dan pribumi.
Ini suatu langkah yang luar biasa pada saat itu, jika mengingat Medan
Prijaji di bawah Tirtohadisoerjo sering bersikap kritis terhadap praktek
dagang pengusaha Belanda dan Cina yang merugikan atau mendesak posisi
pedagang pribumi. Dalam satu segi, ini juga indikasi dari benih-benih
nasionalisme Indonesia.
Jelaslah bahwa Medan Prijaji bukan saja
merupakan suratkabar nasional yang dipimpin oleh tenaga-tenaga nasional
sendiri, tetapi juga sekaligus dimodali oleh modal nasional. Meskipun di
antara para redaktur dan pembantunya juga dicantumkan nama J.J. Meyer.
Tokoh
Tirtohadisoerjo ternyata mendapat tempat yang banyak pula dalam
laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr.
Rinkes. Ini disebabkan karena kemudian Tirtohadisoerjo memegang peranan
pula dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam di Surakarta bersama Haji
Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang kemudian
berkembang ke seluruh Indonesia. Anggaran Dasar Sarikat Islam yang
pertama mendapat persetujuan Tirtohadisoerjo sebagai ketua Sarikat Islam
di Bogor dan sebagai redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.
Tidak dipertentangkanPergerakan
politik anak negeri jajahan biasanya disebut gerakan nasional. Dalam
hubungan itu, maka baik lahirnya Medan Prijaji maupun
suratkabar-suratkabar nasional lainnya, pada kenyataannya tidak jauh
berbeda dengan gerakan kebangsaan Indonesia. Pers nasional dan gerakan
kebangsaan Indonesia merupakan dwitunggal dalam arti yang luas. Antara
gerakan kebangsaan dan persnya terjalin hubungan kerjasama yang erat.
Pers nasional adalah cermin nyata kehidupan gerakan kebangsaan, dan
sekaligus juga menjadi wahana penyebar gagasan-gagasan nasionalisme.
Kalau
nilai tradisi (keindonesiaan) dalam arti yang lebih utuh kita anggap
ada sejak tercetusnya "Sumpah Pemuda" dalam Kongres Pemuda II, 28
Oktober 1928, benih-benihnya secara parsial sebenarnya sudah tertanam
lama sebelumnya. Jelas sekali bahwa Tirtohadisoerjo telah menunjukkan
warna tradisi itu. Namun "tradisi" yang dimaksud di sini bukanlah
sesuatu yang dipertentangkan dengan modernitas.
Namun dalam
perlawanannya dan kecamannya yang tajam terhadap praktek-praktek
kolonial Hindia Belanda, "tradisi" Tirtohadisoerjo ini sebenarnya juga
adalah salah satu wujud modernitas, yakni keyakinan bangsa (perubahan)
nasib itu ditentukan oleh diri sendiri, bukan oleh pihak luar. Dengan
demikian, penerbitan pers menjadi perwujudan kehendak suatu
individu/bangsa yang sadar untuk menentukan nasibnya sendiri dan
berpendapat bahwa suaranya berharga untuk didengar.
Medan Prijaji
lahir pada periode ketiga, menurut pendekatan bibliografi yang
dilakukan Hoogerwerf (1990). Periode pertama (1800-1856) didahului oleh
masa keterbatasan di masa VOC (Kompeni Perdagangan Hindia Timur). Pers
di Hindia Belanda menjadi percaturan dan perdebatan politik di DPR
Belanda, antarwakil berbagai golongan politik. Periode kedua
(1856-1900), diwarnai latar belakang kehidupan politik Belanda dan
munculnya pers Hindia Belanda yang didominasi kaum liberal, yang
berhasil menghapus sistem Tanam Paksa dan UU Agraria 1870. Muncul
pemikiran Politik Etika yang bertujuan memperbaiki martabat dan derajat
penduduk bumiputra.
Medan Prijaji lahir pada periode ketiga
(1900-1942), ketika pengaruh Politik Etika menumbuhkan
pandangan-pandangan baru dan pemikiran baru mengenai
perimbangan-perimbangan kolonial. Muncul kesadaran politik baru bahwa
hubungan terjajah dan penjajah tidaklah abadi, dan pada suatu ketika
masyarakat Indonesia akan sanggup berdiri sendiri. Elite Indonesia yang
baru tumpuh pun memperhatikan pandangan baru itu.
Perkembangan
pers daerah dan bahasa Melayu terdapat dalam uraian awal tentang pers di
Indonesia pada tahun 1909, oleh E.F.E. Douwes Dekker (di kemudian hari
lebih dikenal sebagai Dr. Danudirdja Setyabuddhi), yang waktu itu
menjadi redaktur pembantu suratkabar Bataviaasch Niewsblad di Jakarta.
Ia telah menilai kedudukan pers berbahasa Melayu lebih penting daripada
pers Belanda, karena pers berbahasa Melayu langsung dapat menarik
pembaca-pembaca bumiputra.
Saat itu juga ada
suratkabar-suratkabar peranakan Tionghoa dalam bahasa Melayu (kemudian,
bahasa Indonesia), yang lahir dengan bangkitnya nasionalisme Tionghoa di
Hindia Belanda. Pers peranakan itu memenuhi fungsi untuk berkomunikasi
di antara kaum peranakan Tionghoa khususnya dan masyarakat Indonesia
yang berbahasa Indonesia umumnya. Walaupun dalam tahap permulaan pers
peranakan didominasi oleh aliran yang berorientasi ke Tiongkok, tetapi
lama-kelamaan orientasi ke Hindia Belanda dan orientasi ke Indonesia
juga mendapat angin. Tetapi harus diakui, orientasi ke Indonesia sebelum
Perang Dunia II masih lemah dan kebanyakan suratkabar peranakan
Tionghoa masih berorientasi ke Tiongkok atau Hindia Belanda. Ini bisa
dijelaskan karena saat itu Indonesia masih di bawah kekuasaan Belanda
dan suasana perkauman saat itu masih amat tebal.
Namun keadaan
pers Indonesia bila dibandingkan dengan pers Belanda dan pers Cina
(Tionghoa-Melayu) kebanyakan jauh di bawah ukuran. Hal itu dapat
dimengerti, karena sebagian besar rakyat yang merasa memerlukan membaca
koran (Indonesia), tidak begitu banyak uangnya. Padahal harga
langganannya sudah begitu rendah, sedangkan iklan-iklannya pun hanya
merupakan sumber penghasilan yang kecil, dan peralatannya sangatlah
sederhana.
Hanya lima tahun Medan Prijaji dapat terbit dan dalam masa
jayanya antara 1910-1912 dapat mencapai oplah hingga 2.000, suatu
jumlah yang untuk suratkabar Belanda sendiri saat itu sudah termasuk
besar. Kecuali Medan Prijaji, ia juga menerbitkan Soeloeh Keadilan.
Karena karangan-karangannya yang tajam terhadap penguasa,
Tirtohadisoerjo pernah dibuang ke Lampung. Tetapi dari tempat pembuangan
itu pun ia masih terus menulis karangan-karangan yang bercorak membela
rakyat kecil, serta melawan praktek yang buruk dari pemerintah setempat.
Ketika
menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara
mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: "Kira-kira pada
tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik
perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu
almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid
Stovia yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi
(yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan
Soeloeh Pengadilan. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan
journalistik."
Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas
Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan
Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani. "Dialah wartawan Indonesia
yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat
umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak
kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia
lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan
Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan," tulis
Tjokrosisworo.
Tirtohadisoerjo jelas mewujudkan dalam dirinya
sisi intelektual. Karena menjadi seorang wartawan, penerbit suratkabar,
pada waktu itu otomatis menghadapkannya pada realitas kekuasaan
kolonial, serta keterlibatan dalam masalah kemasyarakatan.
Tirtohadisoerjo, misalnya, harus berhadapan dengan produk hukum kolonial
yang menekan pers. Pada tahun Tirtohadisoerjo meninggal (17 Agustus
1918), diberlakukan ketentuan-ketentuan untuk menindak wartawan, yakni
bersamaan dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht van Nederlands-Indie
(kitab Hukum Pidana).
Ketentuan yang berlaku dalam pasal 154,
155, 156 dan 157 kitab itu dikenal dengan sebutan Haatzai Artikelen
(pasal-pasal tentang penyebaran kebencian). Pasal ini mengancamkan
hukuman pada siapapun yang dianggap menyebarkan perasaan permusuhan,
kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau pemerintah
Hindia Belanda (pasal 154 dan 155), dan terhadap sesuatu atau sejumlah
kelompok penduduk di Hindia Belanda(pasal 156 dan 157).
Di segi
lain, tidak begitu jelas, bagaimana persisnya visi Tirtohadisoerjo
tentang agama (Islam). Namun penerbitan Medan Prijaji itu sendiri tak
akan terjadi tanpa kerjasama dengan Haji Samanhudi, saudagar batik asal
Sala yang juga penganut Islam taat. Samanhudi semula datang ke Bandung
untuk menagih utang dan sementara waktu ia tinggal di sana. Di Bandung
itulah Samanhudi bertemu dengan Tirtohadisoerjo, yang menggerakkan hati
Samanhudi untuk berjuang dalam bidang penerbitan pers.
Samanhudi
mendirikan Sarekat Dagang Islam di Sala pada 1911, yang menjadi awal
dari Sarekat Islam, yang kemudian menyebar luas di seluruh Hindia
Belanda. Medan Prijaji, dalam serangannya terhadap praktek-praktek
dagang perusahaan Belanda dan Cina yang dipandangnya tidak fair, secara
tak langsung mendukung usaha pedagang pengusaha Islam (baca pribumi).
Tentu
saja kita bisa membahas lebih lanjut, apakah keterlibatan Samanhudi
dalam penerbitan Medan Prijaji itu memang dilandasi semangat keislaman.
Medan Prijaji terbit setelah orang Belanda dan Cina mulai bergerak dalam
bidang penerbitan pers, yang kemudian menggugah orang Indonesia
(pribumi) untuk juga terjun ke bidang itu. Terutama setelah berdirinya
organisasi-organisasi yang berasaskan kebangsaan ataupun keagamaan.
Namun dari kasus ini terlihat bahwa -- setidak-tidaknya pada satu masa
-- pernah terjadi kondisi di mana pertautan antara kutub agama (Islam),
tradisi dan modernitas, seolah-olah justru memberi kondisi yang
menguntungkan (atau sekurang-kurangnya tidak merugikan) bagi ketiga
kutub itu sendiri.
Demikianlah, karangan singkat tentang profil
pers dan tokoh cendekiawan pers Indonesia ini tidaklah berpretensi untuk
memberi uraian yang sangat lengkap, karena keterbatasan sumber acuan
yang tersedia dan kurangnya waktu penulis untuk menelaah lebih mendalam
dan menggali sumber-sumber lain. Meski demikian, diharapkan karangan
singkat ini bisa bermanfaat atau memicu penelaahan lebih jauh oleh
kalangan lain yang berminat. ***
BAHAN ACUAN:
Wild, Colin, dan
Peter Carey, Gelora Api Revolusi, Sebuah Antologi Sejarah, Penerbit BBC
Seksi Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta, 1986.
Karangan-karangan P. Swantoro dan Abdurrachman Surjomihardjo, dalam buku terbitan Humas Kompas, Percetakan PT Gramedia, 1992.
Soebagijo I.N., Sebelas Perintis Pers Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1976.
Soebagijo I.N., H., Sejarah Pers Indonesia, Dewan Pers, Jakarta, 1977.
Surjomihardjo, Abdurrachman, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Deppen RI - Leknas LIPI, Jakarta, 1980.
***
Ditulis untuk Simposium "Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara:
Wacana Lintas Kultural," dalam rangka Pertemuan Nasional I Majelis
Sinergi Kalam (Masika) ICMI, 8-11 Oktober 1993, Bogor.