Free Fire Pointer Blue Cursors at www.totallyfreecursors.com

iklan

flash

iklan

SELAMAT DATANG BLOGGER PARA HACKER

23 Februari, 2014

Surat Kabar Nasional Pertama: "Medan Prijaji"

Surat Kabar Nasional Pertama: "Medan Prijaji"

medan-prijaji
Memperingati hari Pahlawan 10 November lalu (2006), Presiden menganugerahkan 8 Pahlawan Nasional kepada 9 tokoh sejarah dari berbagai daerah. Salah satu gerakan perjuangan kemerdekaan adalah penerbitan koran pribumi di awal abad ke-20. R.M. Tirto Adhi Soerjo (TAS) diangkat menjadi Pahlawan Nasional karena aktivitasnya sebagai pelopor pers nasional pribumi pertama di tahun 1907, di Bandung. Anugerah ini diusulkan oleh warga Jawa Barat.
R.M. Tirto Adhi Soerjo melakukan perjuangan melalui surat kabar yang dipimpinnya, Soenda Berita, pers pertama yang terbit di Cianjur. Beliau adalah pioner pers pribumi. Melalui surat kabar Medan Prijaji, pemikiran beliau menjadi cikal bakal nasionalisme dengan memperkenalkan istilah Anak Hindia. Beliau juga menyadarkan masyarakat Indonesia tentang hakekat penjajahan yang sangat merugikan bangsa dan berusaha melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial. Mengingat jasanya beliau dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia tahun 1973 oleh Dewan Pers RI. Atas jasa-jasanya itu pula, pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.TAHUN 2006 Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PPKK) Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (Lemlit Unpad) mempelajari tiga calon pahlawan nasional dari Jawa Barat yaitu R. Soepriadinata, R.M. Tirto Adhi Soerjo, dan K.H. Noer Ali. TAS pelopor pers nasional. Dia mendirikan surat kabar Medan Priyayi pada 1 Januari 1907. Melalui surat kabar tersebut, dia berkiprah di Jabar hingga akhir hayatnya. Bahkan makamnya pun berada di Bogor.
“TAS pelopor pers nasional. Dia mendirikan surat kabar Medan Priyayi pada 1 Januari 1907. Melalui surat kabar tersebut, dia berkiprah di Jabar hingga akhir hayatnya. Bahkan makamnya pun berada di Bogor.” [Nina H. Lubis]
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora tahun 1880. TAS yang tak menyelesaikan sekolahnya di STOVIA Batavia pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung TAS menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, Januari 1904 TAS mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji. Medan Prijaji beralamat di jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Selain di bidang pers, TAS juga aktif dalam pergerakan nasional, ia mendirikan Sarikat Dagang Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S. Tjokroaminoto.
Tirto-Adhie-Soerjo
Alm. R.M. Tirto Adhi Soerjo (1875–1918)
Pada tahun 1909, TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers pun terjadi, TAS dituduh menghina pejabat Belanda, terkena Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang pers tahun 1906). Meskipun TAS memiliki forum privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan. Pada pertengahan kedua tahun 1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi Mingguan, dan dicetak di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1 Bandung. Inilah harian pertama yang benar-benar milik pribumi. Masa kejayaan Medan Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.
Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami R.A. Kartini) menggantikan ayahnya. TAS pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan, wilayah Halmahera selama 6 bulan, namun baru diberangkatkan setahun kemudian karena masalah perekonomian penerbitan Medan Prijaji dengan para krediturnya.
Sekembali dari Ambon, TAS tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia sedang di Ambon namanya diubah menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan). Antara tahun 1914-1918, TAS sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada tanggal 7 Desember 1918. Mula-mula ia dimakamkan di Mangga Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973. Di nisannya tertulis, Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia, Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.
Kisah perjuangan TAS diabadikan oleh Pramoedya Ananta Toer (PAT) selepas keluarnya dari pembuangan pulau Buru awal tahun 1980-an. Ditulis dengan nama Minke dalam buku Tetralogi Buru, empat buku tebal yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Selain Tetralogi PAT pun menulis kekagumannya atas TAS dalam buku Sang Pemula. Entah alasan pemerintah saat itu apa sehingga karya Tetralogi PAT dilarang terbit dan beredar. Sejak reformasi bergulir buku-buku PAT banyak dicetak ulang, bahkan hendak diangkat ke film layar lebar.
Karya PAT tentang Minke sebagai Tirto Adhi Surjo ini sudah banyak diterjemahkan di luar negeri, hingga 33 bahasa, diakui internasional di berbagai negara sebagai sebuah karya sejarah yang apik. Selain berlatar belakang sejarah yang tentunya lebih menarik sebagai referensi pelajaran sejarah di sekolah, PAT menggambarkan manusia Indonesia dengan keadaan feodal dan sistem kolonialnya. Tak hanya kronologi era Kebangkitan Nasional Indonesia dipaparkan lebih membumi dengan bahasa yang sederhana, PAT juga menggambarkan kisah cinta seorang manusia yang sederhana, tidak muluk-muluk, saat Minke bertemu dengan Annelies, sang Bunga Akhir Abad. Kabarnya Garin Nugroho akan menyutradai dan tokoh Annelies Melemma akan diperankan oleh Mariana Renata.

MEDAN PRIJAJI" DAN PROFIL PERS INDONESIA

Pendahuluan
Tulisan ini merupakan pengantar singkat untuk melukiskan profil, gambaran dan permasalahan kecendekiawanan yang dihadapi insan pers "Indonesia" (baca: pribumi), terutama pada periode 1900-an. Yang dimaksud dengan insan pers di sini adalah mereka yang paling terlibat dalam kegiatan intelektual: para jurnalis atau wartawan. Pers sebenarnya identik dengan media massa, yang punya arti lebih luas. Seperti: mencakup radio, terlevisi, bahkan kaset video, selebaran dan pamflet. Namun pers biasanya lebih diasosiasikan dengan media cetak.

Mengapa bidang pers yang dipilih, ada beberapa alasan. Pertama, secara historis, pers mempunyai peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan sayangnya peran ini sangat jarang dibahas. Apalagi untuk pers periode tahun 1900-an. Hasrat rakyat bagi kemerdekaan dan perjuangan yang sadar dari kepemimpinan revolusioner memerlukan koordinasi, jika tujuan bersama untuk kemerdekaan hendak dicapai. Pers berperan dalam memberikan koordinasi ini (Kratz: 1986).

Tokoh-tokoh pejuang seperti Haji Agus Salim, Sam Ratulangi, Danudirdja Setyabuddhi (Douwes Dekker), Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo, adalah tokoh-tokoh garis depan dalam pengembangan pers nasional, yakni pers yang akan berperan penting dalam perjuangan fisik di tahun 1940-an. Bahkan Bung Karno pernah memimpin Fikiran Rakjat di Bandung, Bung Hatta bersama Sutan Sjahrir memimpin Daulat Rakjat, Haji Oemar Said Tjokroaminoto memimpin Oetoesan Hindia, dan Dokter Soetomo mengusahakan Soeara Oemoem, yang dipimpin Tjindarbumi dibantu Sudarjo Tjokrosisworo.

Kedua, para tokoh pers pada waktu itu mungkin bisa mewakili pengertian kita tentang "cendekiawan Dunia Ketiga" yang diproyeksikan dari model cendekiawan bebas (Mannheim). Mereka adalah kelompok terpelajar, sering berpendidikan tinggi, mengemban tanggung jawab kemasyarakatan, serta bisa bersikap radikal dan bebas dalam memandang kondisi masyarakat dan negara tempat mereka hidup, yang terlihat jelas dalam perjuangan mereka menentang penguasa kolonial.

Jadi mereka memenuhi kriteria inteligensia (yang secara sederhana diterjemahkan sebagai golongan terpelajar), sekaligus intelektual (karena keterlibatan dan keprihatinannya dalam pemecahan masalah kemasyarakatan. Dalam kasus mereka, sebenarnya tidaklah relevan lagi jika kita membuat jarak antara kaum inteligensia dan intelektual.

Ketiga, pers -- dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun sulitnya -- tetap hadir, dan tampaknya akan terus hadir serta berperanan (meski mungkin dalam bentuk-bentuk peran yang berbeda) dalam periode sejarah Indonesia mendatang. Meski dengan proses jatuh bangun, terbukti pers ini terus hidup melalui zaman Hindia Belanda, pendudukan Jepang, era Orde Lama dan Orde Baru. Pertumbuhan pers Indonesia saat ini -- baik dari segi penyebaran sirkulasi, jumlah suratkabar/majalah, serta kualitas isinya -- sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi negeri ini, menggarisbawahi perlunya pembahasan profil dan masalah kecendekiawanan para insan pers Indonesia.

Kasus "Medan Prijaji"

Pers Indonesia saat ini merupakan salah satu domain kehidupan masyarakat yang terlingkup dalam pertautan antara sisi modernitas, tradisi (keindonesiaan) dan agama. Untuk praktisnya dan agar kita tidak berpanjang-panjang bicara soal definisi, penulis menggunakan definisi yang digunakan panitia simposium. Yakni, yang dimaksud dengan tradisi di sini adalah segala macam praktek, pemikiran dan kelembagaan yang dipahami secara kolektif dan diwariskan dari masa lalu, serta dianggap minimal sudah menjadi bagian penting dari sejarah dan kebudayaan Indonesia atau bersifat indigenous. Agama dirumuskan sebagai nilai-nilai universal yang bersifat trans-rasial, trans-strata, dan trans-historis; berorientasi perenial; serta mengilhami setiap gagasan dan pemikiran etis dan ideologis. Sedangkan modernitas mencakup nilai-nilai budaya modern dengan kerangka epistemologis kebudayaan "Barat."

Pers yang pertama kali diterbitkan oleh seorang pribumi di era Hindia Belanda adalah Medan Prijaji, yang sebelum menjadi harian telah terbit sebagai mingguan selama tiga tahun, sejak 1907. Penerbitnya adalah Raden Mas Tirtohadisoerjo, bekas murid Stovia yang bisa disebut sebagai "pelopor wartawan Indonesia." Sebelum menerbitkan Medan Prijaji, ia telah berpengalaman sebagai wartawan suratkabar harian Bintang Betawi, yang dipimpin J. Kieffer dari Firma Van Dorp & Co. Tirtohadisoerjo adalah seorang priyayi dan saudara Bupati Purwodadi, sedangkan orangtuanya sendiri adalah seorang kolektur (juru pengumpul uang pada zaman Belanda atau Manteri Pajak) di Ponorogo. Ayah Tirtohadisoerjo bernama Raden Mas Tumenggung Tirtonoto.

Walau suratkabar yang diasuh Tirtohadisoerjo itu bernama Medan Prijaji, suratkabar yang terbit di Bandung itu tidak dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Moto majalah ini semula berbunyi: Swara bagi sekalijan Radja2, Bangsawan Asali dan fikiran saudagar-saudagar Anaknegeri, lid-lid Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saudagar bangsa yang terprentah lainnya. Sesudah makin maju, majalah ini menjadi harian, dan motonya semakin tegas dan jelas, yakni: Orgaan boeat bangsa jang terprentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranja Anak-Hindia. (H.O. adalah singkatan dari Hindia Olanda). Pada saat itu, moto ini sudah dianggap sangat radikal. Bandingkanlah dengan moto Sinar Soematra di Padang, yang berbunyi: Kekallah kerajaan Wolanda, sampai mati setia kepada kerajaan Wollanda (!). Kalimat semacam ini juga bisa dilihat pada Warta Hindia di Padang, yang baru dihapuskan setelah pergerakan rakyat sejak tahun 1921 di Padang.

Yang juga menarik adalah, menurut buku Sejarah Pers Sebangsa, disebut nama-nama para pengelola Medan Prijaji. Sebagai pemimpin redaksi (hoofdredacteur) adalah Tirtohadisoerjo sendiri, dengan redaktur A.W. Madhie, Raden Tjokromidjojo, Raden Soebroto (ketiganya dari Bandung), R.M. Prodjodisoerjo dan R. Kartadjoemena di Bogor, dan P.t (Paduka tuan) J.J. Meyer, pensiunan Asisten Residen di 's Gravenhage, sebagai redaktur di Nederland. Juga disebut adanya beberapa journalist bangsa Tiong Hoa dan Anak negerie jang pandai2 jang sudah kita pilih mentjoekoepi pada kewadjibannja, a.m (antara mana) Begelener, Hadji Moekti dan lain-lain.

Di sini terlihat, Tirtohadisoerjo melibatkan dalam susunan redaksinya berbagai unsur masyarakat yang ada waktu itu: Belanda, Cina dan pribumi. Ini suatu langkah yang luar biasa pada saat itu, jika mengingat Medan Prijaji di bawah Tirtohadisoerjo sering bersikap kritis terhadap praktek dagang pengusaha Belanda dan Cina yang merugikan atau mendesak posisi pedagang pribumi. Dalam satu segi, ini juga indikasi dari benih-benih nasionalisme Indonesia.
Jelaslah bahwa Medan Prijaji bukan saja merupakan suratkabar nasional yang dipimpin oleh tenaga-tenaga nasional sendiri, tetapi juga sekaligus dimodali oleh modal nasional. Meskipun di antara para redaktur dan pembantunya juga dicantumkan nama J.J. Meyer.

Tokoh Tirtohadisoerjo ternyata mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena kemudian Tirtohadisoerjo memegang peranan pula dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang kemudian berkembang ke seluruh Indonesia. Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama mendapat persetujuan Tirtohadisoerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.

Tidak dipertentangkan

Pergerakan politik anak negeri jajahan biasanya disebut gerakan nasional. Dalam hubungan itu, maka baik lahirnya Medan Prijaji maupun suratkabar-suratkabar nasional lainnya, pada kenyataannya tidak jauh berbeda dengan gerakan kebangsaan Indonesia. Pers nasional dan gerakan kebangsaan Indonesia merupakan dwitunggal dalam arti yang luas. Antara gerakan kebangsaan dan persnya terjalin hubungan kerjasama yang erat. Pers nasional adalah cermin nyata kehidupan gerakan kebangsaan, dan sekaligus juga menjadi wahana penyebar gagasan-gagasan nasionalisme.

Kalau nilai tradisi (keindonesiaan) dalam arti yang lebih utuh kita anggap ada sejak tercetusnya "Sumpah Pemuda" dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, benih-benihnya secara parsial sebenarnya sudah tertanam lama sebelumnya. Jelas sekali bahwa Tirtohadisoerjo telah menunjukkan warna tradisi itu. Namun "tradisi" yang dimaksud di sini bukanlah sesuatu yang dipertentangkan dengan modernitas.

Namun dalam perlawanannya dan kecamannya yang tajam terhadap praktek-praktek kolonial Hindia Belanda, "tradisi" Tirtohadisoerjo ini sebenarnya juga adalah salah satu wujud modernitas, yakni keyakinan bangsa (perubahan) nasib itu ditentukan oleh diri sendiri, bukan oleh pihak luar. Dengan demikian, penerbitan pers menjadi perwujudan kehendak suatu individu/bangsa yang sadar untuk menentukan nasibnya sendiri dan berpendapat bahwa suaranya berharga untuk didengar.

Medan Prijaji lahir pada periode ketiga, menurut pendekatan bibliografi yang dilakukan Hoogerwerf (1990). Periode pertama (1800-1856) didahului oleh masa keterbatasan di masa VOC (Kompeni Perdagangan Hindia Timur). Pers di Hindia Belanda menjadi percaturan dan perdebatan politik di DPR Belanda, antarwakil berbagai golongan politik. Periode kedua (1856-1900), diwarnai latar belakang kehidupan politik Belanda dan munculnya pers Hindia Belanda yang didominasi kaum liberal, yang berhasil menghapus sistem Tanam Paksa dan UU Agraria 1870. Muncul pemikiran Politik Etika yang bertujuan memperbaiki martabat dan derajat penduduk bumiputra.

Medan Prijaji lahir pada periode ketiga (1900-1942), ketika pengaruh Politik Etika menumbuhkan pandangan-pandangan baru dan pemikiran baru mengenai perimbangan-perimbangan kolonial. Muncul kesadaran politik baru bahwa hubungan terjajah dan penjajah tidaklah abadi, dan pada suatu ketika masyarakat Indonesia akan sanggup berdiri sendiri. Elite Indonesia yang baru tumpuh pun memperhatikan pandangan baru itu.

Perkembangan pers daerah dan bahasa Melayu terdapat dalam uraian awal tentang pers di Indonesia pada tahun 1909, oleh E.F.E. Douwes Dekker (di kemudian hari lebih dikenal sebagai Dr. Danudirdja Setyabuddhi), yang waktu itu menjadi redaktur pembantu suratkabar Bataviaasch Niewsblad di Jakarta. Ia telah menilai kedudukan pers berbahasa Melayu lebih penting daripada pers Belanda, karena pers berbahasa Melayu langsung dapat menarik pembaca-pembaca bumiputra.

Saat itu juga ada suratkabar-suratkabar peranakan Tionghoa dalam bahasa Melayu (kemudian, bahasa Indonesia), yang lahir dengan bangkitnya nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda. Pers peranakan itu memenuhi fungsi untuk berkomunikasi di antara kaum peranakan Tionghoa khususnya dan masyarakat Indonesia yang berbahasa Indonesia umumnya. Walaupun dalam tahap permulaan pers peranakan didominasi oleh aliran yang berorientasi ke Tiongkok, tetapi lama-kelamaan orientasi ke Hindia Belanda dan orientasi ke Indonesia juga mendapat angin. Tetapi harus diakui, orientasi ke Indonesia sebelum Perang Dunia II masih lemah dan kebanyakan suratkabar peranakan Tionghoa masih berorientasi ke Tiongkok atau Hindia Belanda. Ini bisa dijelaskan karena saat itu Indonesia masih di bawah kekuasaan Belanda dan suasana perkauman saat itu masih amat tebal.

Namun keadaan pers Indonesia bila dibandingkan dengan pers Belanda dan pers Cina (Tionghoa-Melayu) kebanyakan jauh di bawah ukuran. Hal itu dapat dimengerti, karena sebagian besar rakyat yang merasa memerlukan membaca koran (Indonesia), tidak begitu banyak uangnya. Padahal harga langganannya sudah begitu rendah, sedangkan iklan-iklannya pun hanya merupakan sumber penghasilan yang kecil, dan peralatannya sangatlah sederhana.
Hanya lima tahun Medan Prijaji dapat terbit dan dalam masa jayanya antara 1910-1912 dapat mencapai oplah hingga 2.000, suatu jumlah yang untuk suratkabar Belanda sendiri saat itu sudah termasuk besar. Kecuali Medan Prijaji, ia juga menerbitkan Soeloeh Keadilan. Karena karangan-karangannya yang tajam terhadap penguasa, Tirtohadisoerjo pernah dibuang ke Lampung. Tetapi dari tempat pembuangan itu pun ia masih terus menulis karangan-karangan yang bercorak membela rakyat kecil, serta melawan praktek yang buruk dari pemerintah setempat.

Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: "Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid Stovia yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik."

Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani. "Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan," tulis Tjokrosisworo.

Tirtohadisoerjo jelas mewujudkan dalam dirinya sisi intelektual. Karena menjadi seorang wartawan, penerbit suratkabar, pada waktu itu otomatis menghadapkannya pada realitas kekuasaan kolonial, serta keterlibatan dalam masalah kemasyarakatan. Tirtohadisoerjo, misalnya, harus berhadapan dengan produk hukum kolonial yang menekan pers. Pada tahun Tirtohadisoerjo meninggal (17 Agustus 1918), diberlakukan ketentuan-ketentuan untuk menindak wartawan, yakni bersamaan dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht van Nederlands-Indie (kitab Hukum Pidana).

Ketentuan yang berlaku dalam pasal 154, 155, 156 dan 157 kitab itu dikenal dengan sebutan Haatzai Artikelen (pasal-pasal tentang penyebaran kebencian). Pasal ini mengancamkan hukuman pada siapapun yang dianggap menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau pemerintah Hindia Belanda (pasal 154 dan 155), dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda(pasal 156 dan 157).

Di segi lain, tidak begitu jelas, bagaimana persisnya visi Tirtohadisoerjo tentang agama (Islam). Namun penerbitan Medan Prijaji itu sendiri tak akan terjadi tanpa kerjasama dengan Haji Samanhudi, saudagar batik asal Sala yang juga penganut Islam taat. Samanhudi semula datang ke Bandung untuk menagih utang dan sementara waktu ia tinggal di sana. Di Bandung itulah Samanhudi bertemu dengan Tirtohadisoerjo, yang menggerakkan hati Samanhudi untuk berjuang dalam bidang penerbitan pers.

Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Sala pada 1911, yang menjadi awal dari Sarekat Islam, yang kemudian menyebar luas di seluruh Hindia Belanda. Medan Prijaji, dalam serangannya terhadap praktek-praktek dagang perusahaan Belanda dan Cina yang dipandangnya tidak fair, secara tak langsung mendukung usaha pedagang pengusaha Islam (baca pribumi).

Tentu saja kita bisa membahas lebih lanjut, apakah keterlibatan Samanhudi dalam penerbitan Medan Prijaji itu memang dilandasi semangat keislaman. Medan Prijaji terbit setelah orang Belanda dan Cina mulai bergerak dalam bidang penerbitan pers, yang kemudian menggugah orang Indonesia (pribumi) untuk juga terjun ke bidang itu. Terutama setelah berdirinya organisasi-organisasi yang berasaskan kebangsaan ataupun keagamaan. Namun dari kasus ini terlihat bahwa -- setidak-tidaknya pada satu masa -- pernah terjadi kondisi di mana pertautan antara kutub agama (Islam), tradisi dan modernitas, seolah-olah justru memberi kondisi yang menguntungkan (atau sekurang-kurangnya tidak merugikan) bagi ketiga kutub itu sendiri.

Demikianlah, karangan singkat tentang profil pers dan tokoh cendekiawan pers Indonesia ini tidaklah berpretensi untuk memberi uraian yang sangat lengkap, karena keterbatasan sumber acuan yang tersedia dan kurangnya waktu penulis untuk menelaah lebih mendalam dan menggali sumber-sumber lain. Meski demikian, diharapkan karangan singkat ini bisa bermanfaat atau memicu penelaahan lebih jauh oleh kalangan lain yang berminat. ***

BAHAN ACUAN:
Wild, Colin, dan Peter Carey, Gelora Api Revolusi, Sebuah Antologi Sejarah, Penerbit BBC Seksi Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta, 1986.
Karangan-karangan P. Swantoro dan Abdurrachman Surjomihardjo, dalam buku terbitan Humas Kompas, Percetakan PT Gramedia, 1992.
Soebagijo I.N., Sebelas Perintis Pers Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1976.
Soebagijo I.N., H., Sejarah Pers Indonesia, Dewan Pers, Jakarta, 1977.
Surjomihardjo, Abdurrachman, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Deppen RI - Leknas LIPI, Jakarta, 1980.

*** Ditulis untuk Simposium "Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana Lintas Kultural," dalam rangka Pertemuan Nasional I Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI, 8-11 Oktober 1993, Bogor.

Perkembangan Teknologi Komunikasi di Indonesia

Perkembangan Teknologi Komunikasi di Indonesia

 umpc2.jpg 

Bagaimana sejarah singkat perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia?Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global.


Peran yang dapat diberikan oleh aplikasi teknologi informasi ini adalah mendapatkan informasi untuk kehidupan pribadi seperti informasi tentang kesehatan, hobi, rekreasi, dan rohani. Kemudian untuk profesi seperti sains, teknologi, perdagangan, berita bisnis, dan asosiasi profesi. Sarana kerjasama antara pribadi atau kelompok yang satu dengan pribadi atau kelompok yang lainnya tanpa mengenal batas jarak dan waktu, negara, ras, kelas ekonomi, ideologi atau faktor lainnya yang dapat menghambat bertukar pikiran.
Perkembangan Teknologi Informasi memacu suatu cara baru dalam kehidupan, dari kehidupan dimulai sampai dengan berakhir, kehidupan seperti ini dikenal dengan e-life, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. Dan sekarang ini sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan e
seperti e-commerce, e-government, e-education, e-library, e-journal, e-medicine, e-laboratory, e-biodiversitiy, dan yang lainnya lagi yang berbasis elektronika.
Sejarah singkat perkembangan teknologi di Indonesia:
1.     televisi
2.     radio
Di tahun 1986-1987-an awal perkembangan jaringan paket radio di Indonesia
3.     telepon
4.     pager
5.     handphone
6.     Bluetooth
7.     Wi-fi
8.     GPS
9.     internet :
  Ledakan Internet di Indonesia sendiri terjadi sekitar tahun 1994. Sebelumnya Internet sudah masuk ke Indonesia melalui jaringan akademis dan pusat riset, sehingga hanya golongan akademis dan peneliti yang dapat memanfaatkannya. Itupun masih terbatas pada fasilitas e-mail saja. Nicholas Negroponte sendiri mengakui, “…bahwa pertumbuhan host Internet tercepat pada kwartal ketiga 1994 terjadi di Argentina, Iran, Peru, Mesir, Filipina, Federasi Rusia, Slovenia dan Indonesia.” (Being Digital, Mizan, 1998, hal. 184).

Di Indonesia, jumlah pengguna Internet menurut perkiraan sebesar 1 juta orang dari sekitar 200 juta penduduk Indonesia. Angka tersebut sangatlah kecil dibandingkan dengan rasio pengguna di Amerika Serikat. Berdasarkan data yang didapat dari APJII (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia) dari 11.000 Sekolah Menengah Umum (SMU) di Indonesia, kurang dari 2% yang mempunyai sambungan ke Internet. Itu pun terkonsentrasi di wilayah Jabotabek dan kota-kota besar di Pulau Jawa.

Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menjadikan Indonesia tertinggal jauh dibanding negara-negara lainnya yang telah terbiasa memanfaatkan Internet untuk pendidikan di sekolah-sekolah. Di sisi lain, memasuki abad ke-21 ini, diperkirakan kebutuhan tenaga ahli di bidang teknologi informasi akan meledak dan berbagai urusan diperkirakan hampir semuanya akan berbasiskan Internet.
Tekonologi Sekarang:
Dalam kehidupan kita dimasa mendatang, sektor teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan sektor yang paling dominan. Siapa saja yang menguasai teknologi ini, maka dia akan menjadi pemimpin dalam dunianya. Teknologi informasi banyak berperan dalam bidang-bidang antara lain :
Bidang pendidikan(e-education).
Globalisasi telah memicu kecenderungan pergeseran dalam dunia pendidikan dari pendidikan tatap muka yang konvensional ke arah pendidikan yang lebih terbuka (Mukhopadhyay M., 1995). Sebagai contoh kita melihat di Perancis proyek “Flexible Learning�?. Hal ini mengingatkan pada ramalan Ivan Illich awal tahun 70-an tentang “Pendidikan tanpa sekolah (Deschooling Socieiy)” yang secara ekstrimnya guru tidak lagi diperlukan.
Bishop G. (1989) meramalkan bahwa pendidikan masa mendatang akan bersifat luwes (flexible), terbuka, dan dapat diakses oleh siapapun juga yang memerlukan tanpa pandang faktor jenis, usia, maupun pengalaman pendidikan sebelumnya.
E-government mengacu pada penggunaan teknologi informasi oleh pemerintahan, seperti menggunakan intranet dan internet, yang mempunyai kemampuan menghubungkan keperluan penduduk, bisnis, dan kegiatan lainnya. Bisa merupakan suatu proses transaksi bisnis antara publik dengan pemerintah melalui sistem otomasi dan jaringan internet, lebih umum lagi dikenal sebagai world wide web. Pada intinya e-government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain. penggunaan teknologi informasi ini kemudian menghasilkan hubungan bentuk baru seperti: G2C (Governmet to Citizen), G2B (Government to Business), dan G2G (Government to Government).



2. Untuk infrastruktur Internet di Indonesia, bagaimana menurut Anda kualitas layanan dan harganya?
Infrastruktur di Indonesia sudah cukup baik, namun dibandingkan dengan perkembangan dunia infratruktur di Indonesia masih belum terbangun dengan baik, tersusun, teratur, rapih dan terjaga. Indonesia masih dirasa kekurangan modal untuk membangun berbagai infrastruktur yang baik, up to date dan aman. Alasan ini dirasa cukup kental mempengaruhi berbagai pembangunan infrastruktur Indonesia yang masih sering terbangun hanya setengah-setengah, atau dengan kata lain ada yang kurang entah dari segi keselamatan, standar operasi, dan lain-lain.
Infrastruktur di Indonesia menurut kelompok kami masih belum sesuai dengan harganya. Sekarang ini perkembangan teknologi di Indonesia sudah semakin pesat, namun masih saja berbagai fasilitas yang kini lebih murah harganya karena kemudahan teknologi, dibuat mahal di Indonesia baik dari pihak swasta maupun dari pihak pemerintah sendiri. Apalagi segala infrastruktur yang dibangun di Indonesia tersebut tidak sebaik dan semaksimal mungkin dibuatnya. Maka harga yang ditawarkan tidaklah sepadan dengan kondisi infrastruktur yang dibangun. Hal ini pun membuat makin terjadinya kesenjangan digital di kalangan masyarakat Indonesia, karena ketidaklayakan harga ini mengakibatkan terbatasnya masyarakat yang dapat menjangkau penggunaan infrastruktur.



3. Apakah yang disebut dengan ‘kesenjangan digital’ ? Mengapa terjadi ? Bagaimana kondisinya di Indonesia ? Bagaimana solusinya menurut Anda?
Definisi yang disodorkan Craig tentang kesenjangan digital adalah perbedaan antara mereka yang mendapatkan keuntungan dari teknologi dan mereka yang tidak mendapatkannya. Jurang pemisah pemakaian teknologi ini kian menganga jika konsumen hanya dipacu untuk membeli produk.
Penyebab makin lebarnya jurang digital tersebut adalah karena perkembangan teknologi yang sedemikian pesat, kurang bisa diikuti negara miskin dan yang sedang berkembang. Selain itu, mahalnya biaya untuk mengimplementasikan teknologi juga jadi faktor berikutnya.

PERKEMBANGAN PERS – PERS INDONESIA

“PERKEMBANGAN PERS – PERS INDONESIA”


Ketika Jepang datang ke Indonesia, koran-koran yang ada di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa koran disatukan dengan alasan menghemat alat- alat tenaga. Tujuan sebenarnya adalah supaya pemerintah Jepang bissa memperketat pengawasan terhadap isi koran. Kantor berita Antara pun diambil alih & diteruskan dari kantor berita Yashima & selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei.
Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada waktu itu koran hanya bersifat propaganda & memuji-muji pemerintah & tentara Jepang


Ø  Monumen Pers Nasional Surakarta, Tonggak Sejarah Pers Nasional
Monumen Pers Nasional berlokasi di Jl. Gajah Mada yang sebelumnya merupakan gedung yang dulunya bernama Gedung Sasono Suko Societet milik Kraton Mangkunegaran. Monumen Pers didirikan untuk memperingati Hari Jadi Pers saat diadakan pertemuan para wartawan seluruh Indonesia (PWI) pada tanggal 9 Februari 1946. Peresmian gedung monumen ini baru dilakukan dari Presiden RI saat itu, Soeharto, pada tanggal 9 Februari 1978 sebagai peringatan perjuangan pers di Indonesia, meskipun sebenarnya di zaman Soeharto pers justru dikebiri. Melalui SK Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 151/M.PAN tanggal 6 Juni 2002, Monumen Pers Nasional dijadikan sebagai UPT Lembaga Informasi Nasional.
Di dalam komplek Monumen Pers sepengetahuanku ada sebuah museum mengenai pers. Naskah-naskah & dokumen kuno yang merupakan bukti-bukti perjalanan sejarah Pers Nasional & perjuangan bangsa Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, kemerdekaan hingga jaman pemerintahan saat ini, konon, bissa disaksikan di gedung monumen pers. dari karena itu, Monumen Pers Nasional merupakan tempat yang tepat untuk wisata pendidikan & melihat perkembangan politik Indonesia melalui kacamata pers.
Ø  Sejarah Pers di Indonesia
Dalam sejarah perkembangannya pers Indonesia tidak bisa dilepaskan dari situasi masyarakat kolonial pada waktu itu. Munculnya pers di Indonesia bermula dari perkembangan sejarah pers Belanda sampai akhir abad ke-19 di Hindia Belanda. Kemudian menginjak awal abad ke-20 adalah sebuah awal pencerahan bagi perkembangan pergerakan di Indonesia yang ditandai dengan munculnya koran.    Ada beberapa tahapan dalam perkembangan sejarah pers di Indonesia. Pertama, di sebut “Babak Putih” yakni dari tahun 1744 sampai tahun 1854 dimana surat kabar mutlak dimiliki orang-orang Nederland yang dibuat menggunakan bahasa Belanda dan dibaca oleh pembaca berbahasa Belanda. Kemudian babak kedua berlangsung                   antara tahun 1854 sampai masa kebangkitan nasional. Pada tahun 1854 ini dikenla sebagai kemenangan kaum liberal(politik etis) di Nederland yang memberikan kelonggaran pada kegiatan pers di Hindia Belanda.
Di saat inilah media massa yang diterbitkan Tionghoa dan Bumiputera pertama kali muncul. Untuk media Tionghoa ada Li Po yang pertama kali terbit di Sukabumi pada tanggal 12 Januari 1901. Kemudian lahir juga Kabar Perniagaan, Sin Po, dan Sin Tit Po Sin Tit Po yang kesemuanya itu dimiliki oleh orang Tionghoa dan menggunakan bahasa Melayu-Franca. Walaupun semua penerbitan rata-rata dimiliki orang Tionghoa, tetapi kondisi ini juga mendorong proses kemajuan intelektualitas kaum bumiputera. Sedang untuk media massa bumiputera pertama didirikan oleh RM Tirto Adhi Soerjo pada tahun 1902 dengan nama Soenda Berita. Terbitan itu lahir atas kerja Tirto Adhi Soerjo dan bupati Cianjur yang bernama RAA Prawiradiredja. Harian ini pertama kali terbit pada bulan Pebruari 1903. Selain itu, Tirto juga memimpin terbitannya sendiri yang bernama Medan Prijaji di tahun 1907 dan menyebut hariannya tersebut khusus ditujukan pada “bangsa yang terperentah” alias bangsa yang terjajah. Dan alhasil, Medan Prijaji ini mencapai puncak kegemilangannya. RM Tirto Adhi Soerjo inilah yang menjadi pelopor lahirnya pers nasional. Melalui surat kabar ia mengkritisi semua kebijakan pemerintah Belandayang sangat menyengsarakan rakyat. Dialah sang pemula, sosok pembaharu dalam pergerakan di Indonesia.
Ketika tahun 1966 dimana situasi politk Indonesia sangat memanas dan harga kebutuhan pokok rakyat melambung tinggi, para aktivis pers mahasiswa banyak yang bergerak. Lahirnya media kampus seperti Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, Gelora Mahasiswa Indonesia, dan Mimbar Demokrasi turut berjuang aktif menggulingkan Soekarno. Melalui pemaparannya yang kritis, media kampus memberi kontribusi sehingga Soekarno Jatuh dari kedudukannya.
Setelah kejatuhan Soekarno, pers mahasiswa mencoba memberikan kontribusi melalui media kampus tersebut untuk membangun Indonesia baru. Kemudian ketika tahun 1974 ketika terjadi peristiwa MALARI, pers kampus kembali menyerang pemerintah(masa awal pemerintahan orde baru). Banyak kasus pembredelan terhadap pers kampus dan media massa umum; seperti Indonesia Raya, Pedoman, Jakarta Times, serta Mingguan Nusantara dan Ekspress. Pasca pembredelan tersebut gerak mahasiswa dibatasi dengan dikeluarkannya SK No. 0156/U/1978 oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoet Joesoef pada tanggal 19 April 1979 tentang NKK disusul instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi 002/DK/Inst/1978 tentang pembentukan BKK. Lahirnya NKK/BKK inilah yang akhirnya membatasi ruang gerak mahasiswa.

Ø  Pers Indonesia dan Pers Mahasiswa Saat Indonesia
Saat ini pers di Indonesia sedang mengalami kebebasannya. Pers memiliki kondisi untuk melaksanakan idealismenya. Meskipun hal itu tidak mutlak karena masih ada beberapa kasus yang menunjukkan pers dalam kondisi tertekan, seperti kasus Tempo. Secara umum pers di Indonesia bisa dikategorikan dalam tiga kelompok. Pertama, pers sebagai corong pemerintah dimana pers seperti ini lebih condong berpihak pada pemerintah dan biasanya dimiliki oleh pemerintah. Kedua, pers mengambang dimana pers seperti ini cenderung bersifat oportunis. Ketika kondisi kekuasaan sangat otoriter maka ia akan memuja habis-habisan dan ketika kondisi kekuasaan melemah ia akan ikut-ikutan menghujat. Ketiga, pers progresif dimana pers seperti ini tercermin dalam media massa yang konsisten dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol kekuasaan. Dalam kondisi kekuasaan seperti apapun media massa seperti ini akan tetap pada idealismenya meskipun mempunyai resiko tinggi, yaitu dibredel.

Ø  Kebebasan pers di Era Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI”

“PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI”
Ø  PENGERTIAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI
Kata teknologi berasal dari bahasa latin yang berakar dari kata textere, yang artinya menyusun atau membangun.
Teknologi adalah Textere menyusun, membangun
Namun pengertian teknologi tidak dapat dibatasi hanya pada penggunaan peralatan mesin, meskipun dalam arti sempit dalam percakapan sehari-hari istilah tersebut sering digunakan.
 Teknologi merupakan sebuah seperangkat untuk membantu aktivitas kita dan dapat mengurangi ketidakpastian yang disebabkan oleh hubungan sebab akibat yang melingkupi dalam mencapai suatu tujuan.
Sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan pesan di antara dua orang atau lebih dalam jarak fisik dengan kelima indera dapat digunakan dan feed back langsung ada di dalamnya.
Teknologi komunikasi adalah Peralatan perangkat keras dalam sebuah struktur organisasi yang mengandung nilai-nialai sosial, yang memungkinkan setiap individu mengumpulkan, memproses dan saling tukar informasi dengan individu-individu lain (Rogers,1986).

Ø  SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI
Perkembangan teknologi komunikasi diawali oleh penemuan sebuah alat cetak pada tahun 1041. Meskipun Johann Gutenberg, seorang yang berkebangsaan Jerman, dikenal sebagai orang yang membuat cetak-mencetak menjadi poses yang jauh lebih cepat dan ekonomis di tahun 1436, namun pemikiran Gutenberg ini bercikal dari sebuah penemuan awal alat cetak di Cina pada tahun 1041 tadi.
Seorang bernama Bi Zheng di Cina diakui secara umum sebagai pencipta keterampilan cetak-mencetak. Tahun 1041, ia mencetak dokumen-dokumennya yang pertama dengan menggunakan cetakan huruf yang sudah ia bakar dalam tanah liat dan kemudian dibentuk menjadi kalimat. Proses Bi Zheng diperbaiki oleh Wang Zhen pada tahun 1298, yang membuat huruf-hurufnya dari kayu keras dan selanjutnya mencetak buku-buku dan bahkan surat kabar.
Sementara itu, juga di abad ke-19, saat mesin uap mampu menaikkan kecepatan yang ditempuh kendaraan baik di darat ataupun di laut, dengan jelas muncul kebutuhan sebuah sarana komunikasi langsung jarak jauh. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk menunjang terciptanya komunikasi secara jelas meski berada pada tempat-tempat yang begitu jauh dari pandangan mata. Dalam pengertian bahwa komunikasi itu harus lebih cepat dari kecepatan kapal maupun kilat.
Tahun 1791, Abbe Claude Chappe (1763-1805) menyatukan dua kata menjadi sebuah istilah, telegram optik, untuk menggambarkan digunakannya sederet menara untuk mengirimkan sebuah pesan yang kasat mata oleh satu menara dari satu menara sebelumnya. Sistem Chappe ini membutuhkan 120 menara berjajar yang mampu mengirimkan sebuah pesan antara Paris dan Laut Tengah dalam waktu kurang dari satu jam, yang berarti lebih cepat dari kuda tunggang yang tercepat.
Semua sistem ini bergantung pada sinyal-sinyal yang kasat mata. Telegram merupakan sebuah terobosan dalam komunikasi karena ini memungkinkan terjadinya komunikasi instan antara dua orang yang tidak berhadapan muka. Gagasan untuk mengirimkan pesan-pesan sandi dengan sarana kabel yang masing-masing mewakili setiap huruf dalam abjad.
Selanjutnya perkembangan dari telegram ini adalah penemuan yang dilakukan oleh Michael Faraday (1791-1867) yang mampu membuktikan bahwa getaran-getaran logam dapat diubah menjadi impuls-impuls listrik. Inilah yang menjadi cikal-bakal diciptakannya telepon oleh dua orang yang bekerja secara terpisah di Amerika Serikat. Mereka adalah Alexander Graham Bell (1847-1922) kelahiran Skotlandia dan Elisha Gray (1835-1901). Sebelum berkembangnya televisi sebagai media massa, dunia telah lebih dulu dipikat oleh kemunculan film.

Film dimasukkan ke dalam kelompok Komunikasi Massa. Selain mengandung aspek hiburan, juga memuat pesan edukatif. Namun aspek sosial kontrolnya tidak sekuat pada suratkabar atau mserta televisi yang memang menyiarkan berita berdasarkan fakta terjadi. Fakta dalam film ditampilkan secara abstrak, di mana tema cerita bertitik tolak dari fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan dalam film, cerita dibuat secara imajinatif. Film sebagai alat komunikasi massa baru dimulai pada tahun 1901, ketika Ferdinand Zecca membuat film “The Story of Crime” di Perancis dan Edwar S. Porter membuat film “The Life of an American Fireman” tahun 1992.
Film yang mempunyai suara baru ditemukan pada tahun 1927. Dari masa ke masa, film mengalami perkembangan, termasuk soal warna yang semula hitam putih sekarang sudah berwarna. Namun sekarang ini, film tidak populer disebut sebagai komunikasi atau media massa, karena media massa lebih berkonotasi kepada media yang memuat berita yang digarap oleh para reporter atau wartawan. Film lebih banyak difahami sebagai media hiburan semata yang diputar di bioskop dan televisi.
Baru setelah tahun 1946, kegiatan dalam bidang televisi tersebut tampak dimulai lagi. Pada waktu itu, di seluruh Amerika Serikat hanya terdapat beberapa buah pemancar. Tetapi kemudian, karena situasi dan kondisi yang mengizinkan serta perkembangan tekhnologi, maka jumlah studio/pemancar televisi pun meninglat dengan hebatnya.
Pekembangan ini dimulai dari ditemukannya electrische teleskop sebagai perwujudan gagasan seseorang mahasiswa dari Berlin (Jerman Timur) yang bernama Paul Nikov, untuk mengirim gambar melalui udara dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini terjadi antara tahun 1883-1884. Akhirnya Nikov diakui sebagai “Bapak Televisi”.
Televisi mulai dapat dinikmati oleh publik Amerika Serikat (AS) pada tahun 1939, yaitu ketika berlangsungnya “World’s Fair” di New York, namun sempat terhenti ketika terjadi Perang Dunia II.
Sekarang , sudah sekitar 750 stasiun televisi terdapat di negara Paman Sam itu. Tak heran, bila televisi akhirnya menjadi kebutuhan hidup sehari-hari di seluruh penjuru AS dan merupakan kekuatan yang luar biasa dalam komunikasi massa. Lebih dari 75 juta pesawat televisi digunakan secara tetap.
Pada tahun 1946, televisi dinikmati sebagai media massa ketika khalayak dapat menonton siaran Rapat Dewan Keamanan PBB di New York. Dewasa ini, setiap negara telah mempunyai pemancar televisi. Bahkan melalui parabola sebagai sambungan satelit, pemirsa dapat menikmati siaran dari luar negaranya seperti yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian arus berita dan informasi lewat televisi semakin beragam.
Namun demikian, penyiaran televisi ke rumah pertama dilakukan pada tahun 1928 secara terbatas ke rumah tiga orang eksekutif General Electric, menggunakan alat yang sederhana. Sedangkan penyiaran televise secara elektrik pertama kali dilakukan pada tahun 1936 oleh British Broadcasting Coorporation. Semenata di Jerman penyiaran TV pertama kali terjadi pada tanggal 11 Mei 1939. Stasiun televisi itu kemudian diberi nama Nipko, sebagai pengahargaan terhadap Paul Nikov.
Televisi selain menyajikan aspek hiburan, juga menyiarkan berita, yang ada antaranya bersifat sosial kontrol. Karena itu, televisi sebagai media massa telah menjadi salah satu kebutuhan masyarakat di rumah tangga masing-masing.
Sebagai media massa yang muncul belakangan dibandingkan media cetak, televisi baru berperan selama tiga puluh tahun. ‘Kotak ajaib’ ini sendiri lahir setelah adanya beberapa penemuan tekhnologi, seperti telepon, telegraf, fotografi (yang bergerak dan tidak bergerak) serta rekaman suara. Terlepas dari semua itu, pada kenyataannya media televisi kini dapat dibahas secara mendalam, baik dari segi isi pesan maupun penggunaannya.
Selang seabad kemudian, pada malam tanggal 30 oktober 1938, ribuan masyarakat Amerika panik karena siaran radio yang menggambarkan serangan makhluk mars yang mengancam peradaban manusia. Karena belum pernah terjadi maka serentak seluruh masyarakat Amerika tegang dan kalang kabut.
Akibat peristiwa tersebut para pakar peneliti sosial tertarik untuk meneliti masalah tersebut. Karena hal tersebut menggambarkan keperkasaan media dalam hal mempengaruhi khalayaknya. Karena dengan media orang bisa berebut kekuasaan dengan mudah seperti yang dilakukan oleh Hitler, Musolini, dan Lenin.